Jumat, 01 Februari 2013

PROPOSAL PENELITIAN “Implementasi Asas Audi et Elteram Partem Oleh Penegak Hukum ”


BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi perselisihan atau persengketaan yang disebabkan oleh adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda dan sikap individualistik pada setiap orang. Perselisihan atau persengketaan tersebut kadang dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, namun kadang juga mengalami hambatan sehingga upaya untuk menyelesaikan perkara dengan jalan musyawarah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Jika pendekatan musyawarah tidak dapat dilakukan, maka para pihak dapat mengupayakan dengan jalan lain yaitu dengan cara melakukan gugatan kepada pihak lawannya melalui badan peradilan di mana lawannya bertempat tinggal.
Dalam kasus perdata, perselisihan yang sering terjadi antara lain mengenai hak milik, hutang- piutang dan warisan. Kasus-kasus ini dinamakan juga perselisihan mengenai hak-hak perdata, artinya hak-hak yang berdasarkan hukum perdata atau hukum sipil, adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang hakim atau pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini hakim atau Pengadilan Perdata.
Pasal 2 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa tugas pokok badan peradilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim yang ditugaskan untuk memeriksa suatu perkara tidak dapat menolak dengan alasan apapun bahwa hukum tidak mengatur mengenai masalah tersebut, sebab hal ini berkaitan dengan asas yang dikenal dengan nama “Ius Curia Novit” yang menyatakan bahwa hakim tahu akan hukumnya. Dalam kondisi demikian, maka hakim diwajibkan untuk melakukan penemuan hukum terhadap perkara- perkara yang belum atau tidak ada hukumnya. Dalam ketentuan tersebut, mengisyaratkan akan adanya upaya oleh hakim untuk menggali nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Apabila hakim menolak terhadap perkara yang diajukan kepadanya berarti juga pengingkaran terhadap rasa keadilan yang hendak ditegakkan. Hakim sebagai salah satu perangkat pengadilan ditugaskan untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antar kedua belah pihak yang bersengketa, yang sekaligus melakukan konkretisasi hukum terhadap perkara-perkara yang belum ada hukumnya. Dalam proses perdata, salah satu tugas hakim adalah melakukan penyelidikan mengenai hubungan hukum yang menjadi dasar dari suatu gugatan. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti, apabila penggugat menginginkan kemenangan maka ia harus berhasil membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya. Namun hakim tidak boleh memihak atau mendengarkan satu pihak saja, melainkan hakim harus mendengarkan dalil-dalil yang diajukan oleh kedua belah pihak yang berperkara. Proses peradilan yang baik adalah peradilan yang menjamin adanya penyelesaian perkara yang dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
Sudikno Mertokusumo (1998:27) menyatakan :
Bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah cara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Kata cepat menunjukkan kepada jalannya peradilan. Terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan, dalam hal ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan dimuka sidang saja, tetapi juga penyelesaian berita acara pemeriksaan di persidangan sampai pada penandatanganan putusan oleh hakim dan pelaksanaannya, maka cepatnya jalannya peradilan akan meningkatkan kewibawaan pengadilan dan menambah kepercayaan masyarakat kepada pengadilan. Biaya ringan, maksudnya agar terpikul oleh rakyat biaya perkara yang tinggi kebanyakan merupakan penyebab keengganan bagi pihak yang berkepentingan untuk memajukan tuntutan haknya kepada pengadilan.”
Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo (1998:154) menyatakan pula bahwa cepatnya jalannya peradilan (speedy administration of justice), ini tidak hanya meliputi jalannya peradilan sampai dijatuhkan putusan saja tetapi juga meliputi penyelesaiannya termasuk pembuatan berita acara, putusan dan sebagainya sampai pada pelaksanaan putusannya kalau diajukan permohonan eksekusi dalam perkara perdata. Pasal 163 H.I.R atau 283 Rbg, yang mengatur tentang pembuktian berbunyi : Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.” Pembuktian itu sendiri merupakan upaya yang dilakukan oleh para pihak yang mengajukan tuntutan hak ke pengadilan untuk menyelesaikan persengketaan dan untuk memberi kepastian tentang benar terjadinya peristiwa hukum tertentu atau benar terjadinya hubungan hukum tertentu, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah sehingga dapat dihasilkan suatu putusan atau penetapan hakim. Dalam mencapai suatu peradilan yang cepat, maka hakim dalam menjalankan tugasnya diharuskan menggunakan alat bukti sebagaimana yang terdapat dalam pasal 284 Rbg. Salah satu dari alat bukti yang ada dalam hukum acara perdata adalah keterangan saksi (kesaksian), yang dianggap dapat menerangkan suatu peristiwa hukum kepada hakim.
Pembuktian dengan saksi yang dilakukan hakim dalam mengadili perkara untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap para pihak yang berperkara. Jadi para pihak yang berperkara diwajibkan membuktikan “duduknya perkara”. Adapun hal yang tidak dapat dibuktikan dengan sekedar saksi saja, misalnya tentang peristiwa berdirinya Firma (Pasal 21 KUHD).
Tentang bagaimana hukumnya, bukanlah kewajiban mereka untuk membuktikannya, karena adalah kewajiban hakim untuk mengetahui hukum itu dan menerapkan hukum ini, sesudah ia mengetahui itu dan menerapkan hukum ini sesudah ia mengetahui duduknya perkara tadi. Dengan kata lain hakim dianggap mengetahui segala-galanya tentang hukum yang harus diterapkan itu, meskipun hukum tersebut adalah produk dari hukum barat. Namun, terkadang seorang hakim, hukum dari negaranya sendiri sudah tidak mudah diketahuinya, misalnya hukum adat yang hidup di pelosok-pelosok. Maka tak jarang hakim itu harus mendengarkan keterangan dari saksi-saksi ahli tentang hukum adat yang berlaku di daerah-daerah.
Suatu persengketaan yang diajukan di depan pengadilan maka para pihak yang bersengketa diwajibkan membuktikannya sehingga mereka berusaha mendapatkan orang-orang yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Orang atau orang-orang itu dimuka hakim diajukan sebagai saksi. Adalah mungkin bahwa orang-orang tadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian atau peristiwa itu berlangsung atau secara kebetulan melihat dan mengalami peristiwa yang dipersengketakan itu, karena sudah sewajarnya dalam pemeriksaan suatu perkara di persidangan diperlukan keterangan saksi yang mengalami atau melihat peristiwa tersebut.
Oleh karena itu, keterangan-keterangan yang dikemukakan seorang saksi itu harus benar-benar keterangan tentang hal-hal atau peristiwa- peristiwa yang dilihat, dan atau dialami sendiri dan harus pula beralasan. Keterangan saksi harus dikemukakan dengan lisan dan secara pribadi di muka persidangan tidak boleh tertulis dan diwakilkan kepada orang lain.
Untuk itu di dalam melakukan aktivitasnya pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang, seperti yang dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang mengandung arti : Bahwa di dalam Hukum Acara Perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing- masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya.
Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar atau asas “audi et alteram partem” atau “Eines mannes rade is heines mannes rade, manusia soll sie horen alle beide. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.

B.       Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yang berkaitan dengan latar belakang diatas, yaitu:
1.         Bagaimana hubungan antara asas Audie et Elteram Partem dengan para penegak hukum?
2.         Perlakuan para penegak hukum terhadap asas audi et elteram partem dan apa akibat yang ditimbulkan jika para penegak hukum tidak melaksanakan asas audi et elteram partem?
C.      Pembatasan Masalah
Karena keterbatasan dari segi waktu, kesempatan dan kemampuan peneliti, maka penilitian ini hanya membahas tentang hubungan antara Asas Audie et Elteram Partem dengan para penegak hukum dan bagaimana tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang penegak hukum dalam kaitannya menjalankan asas Audie et Elteram Partem dalam profesinya sebagai penegak hukum.

D.      Tujuan dan Kegunaan Penelitian

a)        Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menemukan Pengaruh maupun hubungan dalam menjalankan suatu asas Audie et Elteram Partem  yang dilakukan oleh seorang hakim pada putusan-putusannya.

b)        Kegunaan Penelitian
Dari setiap penelitian yang dilakukan dipastikan dapat memberi manfaat baik bagi objek, atau peneliti khususnya dan juga bagi seluruh komponen yang terlibat didalamnya. Manfaat atau nilai guna yang bisa diambil dari penelitian ini peneliti rangkum yaitu:

1.         Segi Teoritis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu kepastian hukum terutama dikaitkan dengan hal-hal yang mempengaruhi hasil putusan para penegak hukum.
2.         Segi Praktis
a.         Diharapkan mrnjadi masukan bagi para praktisi hukum umumnya dan khusunya hakim
b.        Sebagai bahan dokumen untuk penelitian lebih lanjut.




BAB II
KERANGKA TEORI

A.      Pengertian Asas  Audie et Elteram Partem
Asas Audi et Elteram Partem adalah suatu asas yang ada dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar secara bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seprti yang dimuat dalam pasal 5 ayat (1) UU No 4 tahun 2004, mengandung arti bahwa dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberikan kesempatan yang untuk memberi pendapatnya.
Lebih jelasnya bahwa hakim disini tidaklah boleh hanya menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, apabila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, maka dari itu seorang hakim sebagai seorang penegak hukum yang mana mempunyai tanggung jawab untuk memutus suatu perkara yang ditanganinya tentunya harus mempertimbangkan asas Audi et Elteram Partem dalam memutus suatu perkara dalam sidang yang dipimpinnya.

B.       Perlakuan para penegak hukum terhadap asas Audi et Eltram Partem
Situasi yang ada diranah peradilan kita saat ini tentu menjadi keprihatinan kita bersama. Sebab yang seharusnya lembaga peradilan menjadi suatu tempat untuk mendapatkan suatu keadilan namun, dewasa ini  terkadang kita dapat mencermati kondisi yang real secara langsung, terlalu banyak terjadi kasus kasus yang menyita perhatian publik masyarakat Indonesia. Hal ini tentu ada suatu sebab yang menjadikannya seperti itu. Tidak lain karena ada beberapa faktor yang mendasarinya, salah satu diantaranya adalah dalam kasus perdata yang disidang dipengadilan seorang hakim kurang memperhatikan adanya asas audi et elteram partem.
Jika kita bisa mencermati lebih jauh tentang asas ini dihubungkan dengan penegak hukum dalam hal ini profesi hakim yang mempunyai singgungan secara langsung maka tentu akan berbanding lurus dengan putusan yang diputuskan oleh hakim dalam sidang pengadilan dengan asas audi et elteram partem ini. Untuk menjaga terlaksananya asas audi et eleteram partem maka di dalam Undang-undang telah ditentukan bahwa pengadilan dilakukan dengan pemeriksaan terbuka untuk umum, kecuali dalam kasus yang menyangkut kesusilaan maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum.














BAB III
METODELOGI PENELITIAN

A.      Sasaran, Waktu dan Lokasi Penelitian
Yang menjadi sasaran pada penelitian ini adalah para hakim dalam lembaga peradilan di Indonesia, alasan memilih para hakim dikarenakan faktor sasaran dan keadaan dimana peneliti merasa perlu melakukan penelitian ini. Rencana dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan penelitian ini selama 6 bulan, mulai dari bulan Agustus dan berakhir pada bulan Februari. Penelitian ini bertempat di Pengadilan Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta.

B.       Metodologi Penelitian
Untuk menemukan Pengaruh penerapan asas audi et elteram partem jika dihubungkan dengan putusan yang dibuat oleh seorang hakim dalam hal kasus pedata yang ditanganinya, dengan unsur pokok yang harus ditemukan sesuai dengan butir-butir rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, maka digunakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan determinatif yaitu dengan mencari pengaruh yang ditimbulkan terhadap putusan seorang hakim terhadap hasil putusan hakim di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mengindahkan adanya asas Audi et Elteram Partem.





BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan determinatif, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Dari banyaknya asas asas hukum yang ada salah satunya adalah asas audi et eletram partem
2.      Seorang penegak hukum dalam kaitannya hakim dalam mengambil suatu putusan dalam persidangan maka tidak akan lepas dari asas audi et eletram partem















DAFTAR PUSTAKA

1.        Moeljatno, Prof, S.H., Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
2.        R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor, 1995.
3.        C.S.T. Kansil, Drs., SH, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, BalaiPustaka Jakarta, 1986.
4.        Sudikno Merto Kusumo, Prof, Dr, SH, Hukum Acara Perdata Indonesia, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010
5.        __________________, Mengenal Hukum, Liberty Jogyakarta, 1999.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar