BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
kehidupan bermasyarakat sering terjadi perselisihan atau persengketaan yang
disebabkan oleh adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda dan sikap
individualistik pada setiap orang. Perselisihan atau persengketaan tersebut
kadang dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, namun kadang juga mengalami
hambatan sehingga upaya untuk menyelesaikan perkara dengan jalan musyawarah
tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Jika pendekatan musyawarah tidak dapat
dilakukan, maka para pihak dapat mengupayakan dengan jalan lain yaitu dengan
cara melakukan gugatan kepada pihak lawannya melalui badan peradilan di mana
lawannya bertempat tinggal.
Dalam
kasus perdata, perselisihan yang sering terjadi antara lain mengenai hak milik,
hutang- piutang dan warisan. Kasus-kasus ini dinamakan juga perselisihan
mengenai hak-hak perdata, artinya hak-hak yang berdasarkan hukum perdata atau
hukum sipil, adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang hakim atau
pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini hakim atau Pengadilan Perdata.
Pasal
2 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa tugas pokok badan peradilan
adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya. Hakim yang ditugaskan untuk memeriksa suatu perkara
tidak dapat menolak dengan alasan apapun bahwa hukum tidak mengatur mengenai
masalah tersebut, sebab hal ini berkaitan dengan asas yang dikenal dengan nama “Ius Curia Novit” yang menyatakan bahwa
hakim tahu akan hukumnya. Dalam kondisi demikian, maka hakim diwajibkan untuk
melakukan penemuan hukum terhadap perkara- perkara yang belum atau tidak ada
hukumnya. Dalam ketentuan tersebut, mengisyaratkan akan adanya upaya oleh hakim
untuk menggali nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat.
Apabila
hakim menolak terhadap perkara yang diajukan kepadanya berarti juga
pengingkaran terhadap rasa keadilan yang hendak ditegakkan. Hakim sebagai salah
satu perangkat pengadilan ditugaskan untuk menetapkan hubungan hukum yang
sebenarnya antar kedua belah pihak yang bersengketa, yang sekaligus melakukan
konkretisasi hukum terhadap perkara-perkara yang belum ada hukumnya. Dalam
proses perdata, salah satu tugas hakim adalah melakukan penyelidikan mengenai
hubungan hukum yang menjadi dasar dari suatu gugatan. Adanya hubungan hukum
inilah yang harus terbukti, apabila penggugat menginginkan kemenangan maka ia
harus berhasil membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya. Namun
hakim tidak boleh memihak atau mendengarkan satu pihak saja, melainkan hakim
harus mendengarkan dalil-dalil yang diajukan oleh kedua belah pihak yang
berperkara. Proses peradilan yang baik adalah peradilan yang menjamin adanya
penyelesaian perkara yang dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya
ringan.
Sudikno
Mertokusumo (1998:27) menyatakan :
Bahwa
yang dimaksud dengan sederhana adalah cara yang jelas, mudah dipahami dan tidak
berbelit-belit. Kata cepat menunjukkan kepada jalannya peradilan. Terlalu
banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan, dalam hal ini
bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan dimuka sidang saja, tetapi
juga penyelesaian berita acara pemeriksaan di persidangan sampai pada
penandatanganan putusan oleh hakim dan pelaksanaannya, maka cepatnya jalannya
peradilan akan meningkatkan kewibawaan pengadilan dan menambah kepercayaan
masyarakat kepada pengadilan. Biaya ringan, maksudnya agar terpikul oleh rakyat
biaya perkara yang tinggi kebanyakan merupakan penyebab keengganan bagi pihak
yang berkepentingan untuk memajukan tuntutan haknya kepada pengadilan.”
Lebih
lanjut Sudikno Mertokusumo (1998:154) menyatakan pula bahwa cepatnya jalannya
peradilan (speedy administration of
justice), ini tidak hanya meliputi jalannya peradilan sampai dijatuhkan
putusan saja tetapi juga meliputi penyelesaiannya termasuk pembuatan berita
acara, putusan dan sebagainya sampai pada pelaksanaan putusannya kalau diajukan
permohonan eksekusi dalam perkara perdata. Pasal 163 H.I.R atau 283 Rbg, yang
mengatur tentang pembuktian berbunyi : Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai
suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa
tersebut.” Pembuktian itu sendiri merupakan upaya yang dilakukan oleh para
pihak yang mengajukan tuntutan hak ke pengadilan untuk menyelesaikan
persengketaan dan untuk memberi kepastian tentang benar terjadinya peristiwa
hukum tertentu atau benar terjadinya hubungan hukum tertentu, dengan
menggunakan alat-alat bukti yang sah sehingga dapat dihasilkan suatu putusan
atau penetapan hakim. Dalam mencapai suatu peradilan yang cepat, maka hakim
dalam menjalankan tugasnya diharuskan menggunakan alat bukti sebagaimana yang
terdapat dalam pasal 284 Rbg. Salah satu dari alat bukti yang ada dalam hukum acara
perdata adalah keterangan saksi (kesaksian), yang dianggap dapat menerangkan
suatu peristiwa hukum kepada hakim.
Pembuktian
dengan saksi yang dilakukan hakim dalam mengadili perkara untuk menentukan
hubungan hukum yang sebenarnya terhadap para pihak yang berperkara. Jadi para
pihak yang berperkara diwajibkan membuktikan “duduknya perkara”. Adapun hal
yang tidak dapat dibuktikan dengan sekedar saksi saja, misalnya tentang
peristiwa berdirinya Firma (Pasal 21 KUHD).
Tentang
bagaimana hukumnya, bukanlah kewajiban mereka untuk membuktikannya, karena
adalah kewajiban hakim untuk mengetahui hukum itu dan menerapkan hukum ini,
sesudah ia mengetahui itu dan menerapkan hukum ini sesudah ia mengetahui
duduknya perkara tadi. Dengan kata lain hakim dianggap mengetahui
segala-galanya tentang hukum yang harus diterapkan itu, meskipun hukum tersebut
adalah produk dari hukum barat. Namun, terkadang seorang hakim, hukum dari
negaranya sendiri sudah tidak mudah diketahuinya, misalnya hukum adat yang
hidup di pelosok-pelosok. Maka tak jarang hakim itu harus mendengarkan
keterangan dari saksi-saksi ahli tentang hukum adat yang berlaku di
daerah-daerah.
Suatu
persengketaan yang diajukan di depan pengadilan maka para pihak yang
bersengketa diwajibkan membuktikannya sehingga mereka berusaha mendapatkan
orang-orang yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus
dibuktikan. Orang atau orang-orang itu dimuka hakim diajukan sebagai saksi.
Adalah mungkin bahwa orang-orang tadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut
dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian atau peristiwa itu
berlangsung atau secara kebetulan melihat dan mengalami peristiwa yang
dipersengketakan itu, karena sudah sewajarnya dalam pemeriksaan suatu perkara
di persidangan diperlukan keterangan saksi yang mengalami atau melihat
peristiwa tersebut.
Oleh
karena itu, keterangan-keterangan yang dikemukakan seorang saksi itu harus
benar-benar keterangan tentang hal-hal atau peristiwa- peristiwa yang dilihat,
dan atau dialami sendiri dan harus pula beralasan. Keterangan saksi harus
dikemukakan dengan lisan dan secara pribadi di muka persidangan tidak boleh
tertulis dan diwakilkan kepada orang lain.
Untuk
itu di dalam melakukan aktivitasnya pengadilan mengadili menurut hukum dan
tidak membeda-bedakan orang, seperti yang dimuat dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang mengandung arti : Bahwa di dalam Hukum
Acara Perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas
perlakuan yang sama dan adil serta masing- masing harus diberi kesempatan untuk
memberi pendapatnya.
Asas
bahwa kedua belah pihak harus didengar atau asas “audi et alteram partem” atau “Eines
mannes rade is heines mannes rade, manusia soll sie horen alle beide. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh
menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak
didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.
B.
Rumusan
Masalah
Merujuk
pada latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah
yang berkaitan dengan latar belakang diatas, yaitu:
1.
Bagaimana hubungan antara asas Audie et
Elteram Partem dengan para penegak hukum?
2.
Perlakuan para penegak hukum
terhadap asas audi et elteram partem
dan apa akibat yang ditimbulkan jika para penegak hukum tidak melaksanakan asas
audi et elteram partem?
C.
Pembatasan
Masalah
Karena
keterbatasan dari segi waktu, kesempatan dan kemampuan peneliti, maka
penilitian ini hanya membahas tentang hubungan antara Asas Audie et Elteram Partem dengan para penegak hukum dan bagaimana
tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang penegak hukum dalam kaitannya
menjalankan asas Audie et Elteram Partem
dalam profesinya sebagai penegak hukum.
D.
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
a)
Tujuan
Penelitian
Tujuan utama
dari penelitian ini adalah untuk menemukan Pengaruh maupun hubungan dalam menjalankan
suatu asas Audie et Elteram Partem yang dilakukan oleh seorang hakim pada
putusan-putusannya.
b)
Kegunaan
Penelitian
Dari
setiap penelitian yang dilakukan dipastikan dapat memberi manfaat baik bagi
objek, atau peneliti khususnya dan juga bagi seluruh komponen yang terlibat
didalamnya. Manfaat atau nilai guna yang bisa diambil dari penelitian ini
peneliti rangkum yaitu:
1.
Segi
Teoritis
Untuk memberikan sumbangan
pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu kepastian hukum terutama dikaitkan
dengan hal-hal yang mempengaruhi hasil putusan para penegak hukum.
2.
Segi
Praktis
a.
Diharapkan mrnjadi masukan bagi para
praktisi hukum umumnya dan khusunya hakim
b.
Sebagai bahan dokumen untuk penelitian
lebih lanjut.
BAB
II
KERANGKA
TEORI
A.
Pengertian
Asas Audie et Elteram Partem
Asas Audi et Elteram Partem adalah suatu asas
yang ada dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan
sama, tidak memihak dan didengar secara bersama-sama. Bahwa pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seprti yang dimuat dalam
pasal 5 ayat (1) UU No 4 tahun 2004, mengandung arti bahwa dalam hukum acara
perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan
yang sama dan adil serta masing-masing harus diberikan kesempatan yang untuk
memberi pendapatnya.
Lebih jelasnya bahwa
hakim disini tidaklah boleh hanya menerima keterangan dari salah satu pihak
sebagai benar, apabila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan
untuk mengeluarkan pendapatnya, maka dari itu seorang hakim sebagai seorang
penegak hukum yang mana mempunyai tanggung jawab untuk memutus suatu perkara
yang ditanganinya tentunya harus mempertimbangkan asas Audi et Elteram Partem dalam memutus suatu perkara dalam sidang
yang dipimpinnya.
B. Perlakuan para penegak hukum
terhadap asas Audi et Eltram Partem
Situasi yang ada diranah peradilan kita saat ini
tentu menjadi keprihatinan kita bersama. Sebab yang seharusnya lembaga
peradilan menjadi suatu tempat untuk mendapatkan suatu keadilan namun, dewasa
ini terkadang kita dapat mencermati kondisi
yang real secara langsung, terlalu banyak terjadi kasus kasus yang menyita
perhatian publik masyarakat Indonesia. Hal ini tentu ada suatu sebab yang
menjadikannya seperti itu. Tidak lain karena ada beberapa faktor yang
mendasarinya, salah satu diantaranya adalah dalam kasus perdata yang disidang
dipengadilan seorang hakim kurang memperhatikan adanya asas audi et elteram partem.
Jika kita bisa mencermati lebih jauh tentang asas
ini dihubungkan dengan penegak hukum dalam hal ini profesi hakim yang mempunyai
singgungan secara langsung maka tentu akan berbanding lurus dengan putusan yang
diputuskan oleh hakim dalam sidang pengadilan dengan asas audi et elteram
partem ini. Untuk menjaga terlaksananya asas audi et eleteram partem maka di
dalam Undang-undang telah ditentukan bahwa pengadilan dilakukan dengan
pemeriksaan terbuka untuk umum, kecuali dalam kasus yang menyangkut kesusilaan
maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum.
BAB
III
METODELOGI
PENELITIAN
A.
Sasaran,
Waktu dan Lokasi Penelitian
Yang menjadi sasaran
pada penelitian ini adalah para hakim dalam lembaga peradilan di Indonesia,
alasan memilih para hakim dikarenakan faktor sasaran dan keadaan dimana
peneliti merasa perlu melakukan penelitian ini. Rencana dan waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan penelitian ini selama 6 bulan, mulai dari bulan
Agustus dan berakhir pada bulan Februari. Penelitian ini bertempat di
Pengadilan Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta.
B.
Metodologi
Penelitian
Untuk menemukan
Pengaruh penerapan asas audi et elteram
partem jika dihubungkan dengan putusan yang dibuat oleh seorang hakim dalam
hal kasus pedata yang ditanganinya, dengan unsur pokok yang harus ditemukan
sesuai dengan butir-butir rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, maka
digunakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan determinatif yaitu
dengan mencari pengaruh yang ditimbulkan terhadap putusan seorang hakim
terhadap hasil putusan hakim di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mengindahkan
adanya asas Audi et Elteram Partem.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil
penelitian dengan menggunakan pendekatan determinatif, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Dari banyaknya asas asas hukum yang ada
salah satunya adalah asas audi et eletram partem
2.
Seorang penegak hukum dalam kaitannya
hakim dalam mengambil suatu putusan dalam persidangan maka tidak akan lepas
dari asas audi et eletram partem
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Moeljatno, Prof, S.H., Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, 1993.
2.
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor, 1995.
3.
C.S.T. Kansil, Drs., SH, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, BalaiPustaka Jakarta, 1986.
4.
Sudikno Merto Kusumo, Prof, Dr, SH, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010
5.
__________________, Mengenal Hukum, Liberty Jogyakarta, 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar