PRAKTEK PERADILAN DI
PENGADILAN AGAMA
Oleh : Drs. A. Zuhdi Muhdlor,
SH, M.Hum *)
A. Ruang Lingkup
Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama menegaskan : Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini.
UU Nomor 3 Tahun 2006 yang merupakan amandemen dari UU Nomor
7 Tahun 1989 memberikan kewenangan tambahan kepada lembaga Peradilan Agama (antara
lain) sebagaimana tercantum pada Pasal 49, 50 dan 52 A. Atas dasar perluasan
kewenangan tersebut, maka kalimat ‘perkara perdata tertentu’ pada Pasal
2 UU Nomor 7 Tahun 1987 diubah menjadi ‘perkara tertentu’ pada Pasal 2
UU Nomor 3 Tahun 2006. Dengan ketentuan tersebut maka Peradilan Agama tidak
lagi hanya berwenang menyelesaikan perkara perdata, tetapi juga perkara pidana
yang berkaitan dengan pelanggaran Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975, serta sanksi jinayah
terhadap pelanggaran qanun di Nangroe Aceh Darussalam.
B.
Dasar Hukum
1. Pasal 24 ayat (2) dan (3) UUD 1945 beserta amandemennya.
2. Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
4. Pasal 128 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
C. Hukum Acara
Secara umum, hukum acara yang berlaku di
lembaga Peradilan Umum dan Peradilan Agama adalah sama, yakni HIR untuk Jawa
dan Madura, serta RBg untuk luar Jawa
dan Madura. Namun demikian bagi lembaga Peradilan Agama terdapat ketentuan
khusus sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006, bahwa: “Hukum Acara yang berlaku
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam Undang-undang ini”.
Ketentuan-ketentuan khusus tersebut antara lain :
- Saksi keluarga atau orang dekat para pihak dalam perkara perceraian dengan alasan percek-cokan terus menerus (Pasal 76 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989).
- Ketentuan tentang hakam atau juru damai keluarga dalam perkara syiqaq (Pasal 76 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989).
- Dalam sidang perdamaian perkara perceraian, suami atau isteri harus secara in person datang ke persidangan kecuali jika salah satu pihak berkediaman di luar negeri dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi, maka dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 82 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989
- Apabila kedua belah pihak bertempat kediaman di
luar negeri, maka Penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap
secara pribadi. (Pasal 82 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1989.
- Dalam
hal terjadi perdamaian pada perkara perceraian, maka gugatan/permohonan harus dicabut, selanjutnya hakim membuat
‘penetapan’ yang menyatakan perkara dicabut karena terjadi perdamaian.
- Penggunaan bukti kesaksian dalam perkara perceraian dalam putusan verstek (Pasal 82 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1989.
- Penggunaan istilah “Permohonan” untuk perkara Cerai Talak (suami sebagai Pemohon dan isteri sebagai Termohon) meskipun perkara tersebut termasuk jenis perkara contentiousa (Pasal 66 UU Nomor 7 Tahun 1989).
- Lembaga sumpah li’an (Pasal 88 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989.
- Gugatan diajukan di Pengadilan di tempat
tinggal/domisili Penggugat (isteri) dalam perkara gugat cerai (Pasal 73 UU
Nomor 7 Tahun 1989). Ketentuan ini merupakan penyimpangan dari asas actor
sequitur forum rei.
- Biaya perkara dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon (Pasal 89 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006).
D. Kompetensi Peradilan Agama
Kompetensi
bagi lembaga peradilan adalah kewenangan untuk mengadili suatu jenis perkara
tertentu dan/atau dalam wilayah hukum tertentu. Oleh karena itu, kompetensi
lembaga peradilan mencakup 2 hal, yakni kompetensi yang berkaitan dengan
jenis-jenis perkara yang disebut kompetensi absolut, dan kompetensi yang
berkaitan dengan wilayah hukum (yurisdiksi teritorial) bagi suatu pengadilan
yang disebut sebagai kompetensi relatif.
UU Nomor 3 Tahun 2006 (yang merupakan
amandemen dari UU Nomor 7 Tahun 1989) memberikan perluasan terhadap kompetensi
absolut Peradilan Agama sehingga meliputi :
1.
Penghapusan hak opsi pencari keadilan yang beragama
Islam untuk memilih pengadilan mana (peradilan umum atau peradilan agama) dalam
menyelesaikan sengketa waris sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan UU Nomor 7
Tahun 1989. UU Nomor 3 Tahun 2006 menghapus opsi tersebut, sehingga sengketa
waris yang terjadi di kalangan orang Islam secara absolut menjadi kompetensi
peradilan agama. Selanjutnya kompetensi absolut Peradilan Agama di bidang waris
(Penjelasan Pasal 49 huruf b UU Nomor 3 Tahun 2006) meliputi :
-
Penentuan siapa yang menjadi ahli waris.
-
Penentuan mengenai harta waris/peninggalan.
-
Penentuan bagian masing-masing ahli waris
-
Melaksanakan pembagian harta waris/peninggalan
2.
Kewenangaan menangani perkara penetapan asal usul anak
dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
3.
Selengkapnya, kewenangan absolut Peradilan Agama di
bidang perkawinan dapat
dilihat pada Penjelasan Pasal 49 huruf a UU Nomor 3 Tahun 2006.
4.
Kewenangan di bidang wasiyat, maksudnya adalah
perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum yang berlaku setelah pemberi tersebut meninggal dunia.
5.
Kewenangan di bidang hibah, maksudnya adalah pemberian
suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum
kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
6.
Kewenangan di bidang wakaf, maksudnya perbuatan seseorang
atau sekelompok orang (wakil) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari’at Islam.
7.
Kewenangan di bidang zakat, maksudnya perbuatan seorang
muslim atau badan hukum menyisihkan harta yang wajib disisihkan sesuai dengan
ketentuan syariat Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
8.
Kewenangan di bidang infak, maksudnya perbuatan
seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan baik
berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizki (karunia), atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ihlas karena Allah SWT
semata.
9.
Kewenangan di bidang shadaqah, maksudnya perbuatan
seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan suka rela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan
mengharap ridla Allah SWT dan pahala semata.
10.
Kewenangan di bidang ekonomi syari’ah meliputi hal-hal yang disebutkan dalam Pasal
49 UU Nomor 3 Tahun 2006.
11.
Memutus sengketa hak milik atau keperdataan lain yang
terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek
sengketa tersebut antara orang-orang yang beragama Islam atau yang menundukkan
diri pada hukum Islam (Penjelasan Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2006).
12.
Memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian
rukyatul hilal pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal
tahun hijriyah sebagai bahan masukan bagi Menteri Agama dalam mengeluarkan
penetapan secara nasional untuk penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal (Pasal 52 A
dan Penjelasannya –UU Nomor 3 Tahun 2006).
13.
Memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan
penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat (Penjelasan Pasal 52 A UU
Nomor 3 Tahun 2006).
14.
Menangani perubahan identitas dalam akta nikah (Pasal
32 ayat (4) Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan
Perkawinan).
15.
Memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya apabila
diminta (Pasal 52 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU
Nomor 3 Tahun 2006 dan prubahan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009.
Selain hal-hal yang secara eksplisit telah disebutkan dalam aturan
perundang-undangan tersebut, Pengadilan
Agama (sebagaimana lembaga peradilan lain) juga terikat dengan ketentuan Pasal
56 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3
Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa ‘Pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
memutusnya’.
Perkara yang dimaksudkan tentunya perkara yang masih berkaitan dengan
kewenangan absolut Pengadilan Agama tetapi tidak disebutkan secara eksplisit
dalam aturan perundang-undangan, seperti masalah pengakuan anak atau pengesahan
anak, dll.
E. Prosedur dan Mekanisme
Berperkara di PA
- Membayar uang muka (voorschot).
- Gugatan/permohonan didaftarkan.
- Gugatan/permohonan disampaikan kepada ketua Pengadilan.
- Ketua Pengadilan membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH)
- Ketua Pengadilan menunjuk Panitera Sidang.
- Majelis Hakim membuat Penetapan Hari Sidang (PHS).
- Jurusita menyampaikan surat panggilan kepada para pihak. Kepada pihak Tergugat/Termohon, untuk panggilan pertama kali harus dilampiri surat gugatan/permohonan.
F. Pemanggilan
Para Pihak
- Surat panggilan disampaikan kepada pribadi dimana ia berdomisili.
- Apabila ybs tidak dapat ditemui atau tidak ada di tempat/tidak dijumpai, maka panggilan disampaikan melalui Lurah/Kepala Desa.
- Apabila Tergugat/Termohon tidak jelas tempat kediamannya, atau tidak diketahui, atau tidak mempunyai kediaman yang tetap, maka panggilan dilakukan dengan cara :
-
Melalui Bupati/Walikota kemudian menempelkan surat
panggilan tsb di papan pengumuman Pengadilan, dan/atau
-
Mengumumkannya melalui mass media yang ditetapkan oleh
Pengadilan. Pengumuman atau panggilan melalui mass media tsb dilakukan sebanyak
2 kali, dengan tenggang waktu satu bulan antara panggilan pertama dan kedua.
Dengan demikian untuk sampai pada persidangan pertama kasus tsb memerlukan
waktu setidak-tidaknya 4 bulan. Khusus menyangkut Tergugat/Termohon mafqud (di
Pengadilan Agama), tenggang waktu antara panggilan pertama dengan panggilan
berikutnya adalah 3 bulan, dan tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan
persidangan setidak-tidaknya 3 bulan, sehingga perkara tsb akan disidangkan
setidak-tidaknya setelah melewati waktu 9 bulan sejak tanggal pendaftaran.
- Apabila pihak/ybs telah meninggal dunia, surat panggilan disampaikan kepada ahli warisnya.
Penyampaian surat panggilan harus dilakukan secara
sah, resmi dan patut. Sah adalah jika surat panggilan kepada para pihak
tsb dilakukan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti yang telah disumpah untuk
jabatannya tsb. Resmi adalah, surat panggilan tsb disampaikan kepada
pihak yang bersangkutan baik pribadi (in person) atau wakilnya yang sah, di
tempat tinggal/kediaman yang bersangkutan.
Patut adalah, setidak-tidaknya 3 hari kerja sebelum hari
persidangan, surat panggilan sudah dismpaikan kepada pihak-pihak ybs
G. Masalah Perdamaian
(Dading)
Perdamaian adalah kesepakatan dari
kedua belah pihak yang berperkara untuk nengakhiri sengketa, baik sengketa yang
sedang berjalan ataupun mencegah timbulnya
persoalan baru di kemudian hari. Dalam
pasal 1851 KUH Perdata dijelaskan, perdamaian adalah suatu persetujuan dimana
kedua belah pihak yang berperkara dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan
suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung atau mencegah
timbulnya suatu perkara. Persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus
dibuat secara tertulis.
Pasal 130 HIR dan pasal 154 RBg
menegaskan, jika pada hari persidangan yang telah ditetapkan kedua belah pihak
yang berperkara hadir dalam persidangan, maka Ketua Majelis Hakim berusaha
mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Jika dapat dicapai
perdamaian maka pada hari persidangan hari itu juga dibuatkan putusan
perdamaian, dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang telah
disepakati itu. Putusan perdamaian yang dibuat di muka sidang mempunyai
kekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan eksekusi layaknya putusan biasa
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan perdamaian ini
tidak dapat diajukan banding ke pengadilan tingkat banding. (Manan, 95-96).
Perdamaian jauh lebih baik dari putusan apapun. Dalam Al-Qur’an Allah SWT
berfirman :خير الصلح (perdamaian adalah lebih baik – QS. An-Nisa’
128 ). Dalam ayat QS Al-Hujurat ayat 9 Allah juga memerintahkan, jika ada dua
pihak dari orang-orang mukmin bertikai atau berselisih, agar mereka didamaikan
terlebih dulu.
Perdamaian di pengadilan diwujudkan dalam bentuk-bentuk sbb :
- Untuk perkara yang menyangkut harta benda, maka perdamaian diikuti dengan pembuatan akta perdamaian dan ditanda tangani oleh para pihak yang bersengketa.
- Untuk perkara perceraian, perdamaian ditandai dengan pencabutan perkara oleh Penggugat atau Pemohon, tetapi jika proses persidangan sudah mencapai jawab-menjawab, pencabutan harus atas persetujan Tergugat atau Termohon.
Usaha mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa bersifat imperatif (keharusan)
dan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Majelis Hakim. Suatu putusan
yang dijatuhkan tanpa malalui proses upaya damai terancam batal demi hukum.
H. Mediasi
Dalam rangka melakukan upaya damai
yang sungguh-sungguh bagi para pihak yang bersengketa di pengadilan, Mahkamah
Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang diperbaharui dengan Perma No. 1
Tahun 2008.
Di antara pertimbangan
dikeluarkannya PERMA tersebut menyebutkan :
Bahwa hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg
mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan
dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di
Pengadilan.
Meskipun demikian, PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan Perma Nomor 1 Tahun 2008
tidak membedakan kualitas sengketa dan jenis-jenis perkara yang harus dilakukan
mediasi. PERMA menghendaki semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan
Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian
dengan bantuan mediator (Pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2008). Bahkan Pasal 2 ayat
(3) PERMA tersebut menegaskan : ‘Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan
peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan/atau
Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum’. Selanjutnya Pasal 2 Ayat (4) menegaskan : ‘Hakim
dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang
bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan
nama mediator untuk perkara yang bersangkutan’.
Dalam prakteknya, mediasi dapat dilakukan oleh hakim mediator yang
dipersiapkan oleh Pengadilan, yakni hakim yang tidak menangani pokok perkara
tersebut, atau hakim pemeriksa pokok perkara (jika terpaksa), atau oleh setiap
orang atau lembaga yang menjalankan fungsi mediator yang memiliki sertifikat
dan setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah
memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.
Proses mediasi berlangsung paling lama 40 hari kerja, dan atas
kesepakatan bersama mediasi dapat diperpanjang 14 hari kerja. Jangka waktu
proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. Jika mediasi
menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib
merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani bersama
serta mediator (kecuali dalam
perkara perceraian). Tetapi jika para pihak tidak memandang perlu adanya
akta perdamaian (tertulis), maka kesepakatan perdamaian tersebut harus memuat
klausula pencabutan gugatan dan/atau klausula yang menyatakan perkara telah
selesai.
Dalam hal mediator tidak berhasil mendamaikan pihak-pihak yang
bersengketa, maka ia wajib segera melaporkan secara tertulis kepada Majelis
Hakim pemeriksa, dan untuk selanjutnya Majelis Hakim melanjutkan pemeriksaan
perkara dengan prosedur biasa. Catatan
dari proses mediasi, menurut Pasal
19 ayat (2) Perma Nomor 1 Tahun 2008 wajib dimusnahkan. Proses mediasi tidak mengurangi kewajiban hakim pemeriksa perkara
untuk mengusahakan perdamaian sampai putusan dijatuhkan.
I. Produk-produk
Pengadilan Agama
Produk hakim
(yang dihasilkan dari persidangan) ada 3 macam, yakni :
- Putusan.
- Penetapan.
- Akta perdamaian.
Putusan ialah pernyataan hakim yang dituangkan secara tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara contentiosa
(ada sengketa). Penetapan ialah (juga) pernyataan
hakim dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk
umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara voluntair (tidak ada sengketa). Akta
Perdamaian ialah akta yang dibuat oleh hakim, berisi kesepakatan para pihak
dalam sengketa kebendaan guna mengakhiri sengketa, dan berlaku sebagai putusan.
*). Makalah disampaikan pada kuliah
Praktek Peradilan Mahasiswa Smt Genap Fakultas Hukum UAD TA 2012/2013, 7 Juni
2013. Pemateri adalah hakim Pengadilan Agama Yogyakarta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar